BERSIN

Aku terperanjat mendengar ucapanku sendiri. Setan mana yang merasuki jiwaku sampai kata-kata keji itu keluar dari mulutku. Sontak saja Kinanti terisak-isak dan mengurung diri di dalam kamar. Sementara aku terduduk lemas di ruang tamu, merenungi ucapanku barusan. Bibirku bergetar bahkan seluruh jiwaku ikut bergetar. Kurasakan hangat tetes air mata menyentuh lenganku. Entah apa arti air mataku ini? Penyesalan, kesadaran ataukah keduanya?Aku benar-benar limbung. Kuseret kakiku menuju kamar. Takkuasa tangan ini mengetuk pintu. Bibir ini pun taksanggup berucap. Lidahku terasa kelu. Aku terduduk lemas, kusandarkan tubuhku di daun pintu. Kudengarkan isak istriku yang begitu menyayat kalbu. Kuremas-remas rambutku sendiri. Aku tak tahan mendengar tangisan orang yang sangat kucintai.
Malam ini kami tidur sendiri-sendiri. Aku tidak berani menegur istriku. Aku tidak mau melukainya untuk kali yang kedua. Hidangan makan malam sama sekali tak tersentuh. Selera makanku terasa hilang. Kami berdiam diri di kamar masing-masing. Entah apa yang dilakukan istriku. Aku tidak ada keberanian untuk mengintipnya. Biarlah Kinanti tenang dulu. Nanti pada saat yang tepat aku akan meminta maaf dan menjelaskan semua kekhilafanku. Karena kelelahan dan seharian capek menghadapi tumpukan pekerjaaan, aku pun tertidur. Takkuhiraukan perutku yang keroncongan minta diisi.
Aku terbangun saat mendengar pintu depan dibuka. Kutengok istriku yang selalu ada di sampingku sambil tanganku meraba-raba mencari keberadaannya. Astaghfirullah haladzim. Aku baru sadar atas apa yang terjadi tadi malam. Aku bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kucium bau wangi dari kamar istriku. Tumben pagi-pagi istriku sudah berdandan. Loh kamarnya kok terbuka dan tertata rapi. Alhamdulillah semoga ini pertanda istriku sudah tidak marah lagi. Nanti sehabis shalat aku akan minta maaf kalau perlu bersujud di kakinya. Aku shalat dengan khusuk. Doa pun kulantunkan untuk keharmonisan keluarga kami. Selesai shalat aku buru-buru menuju kamar istriku. Sengaja kupelankan langkahku untuk memberinya kejutan. Aku akan memeluknya dari belakang dan minta maaf padanya. Kuarahkan mataku ke sekeliling kamar. Nihil. Istriku benar-benar tidak ada. Aku teringat bau parhum itu. Jangan jangan…. Aku berlari ke pintu. Benar saja, istriku telah pergi, mungkin ke rumah orang tuanya.
Rupanya istriku benar-benar terluka dengan ucapanku. Perasaan istriku memang sangat halus. Dia bungsu dari tiga bersaudara. Orang tuanya yang sama-sama guru mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan jauh dari kekerasan. Beda dengan aku. Orang tuaku mendidikku secara militer. Harus disiplin dan tanggung jawab.Kalau melanggar ayah tidak segan-segan untuk memukulku. Berkali-kali aku kena hukuman ayah. Memang aku sendiri sih yang bandel. Kesalahan yang paling sering aku lakukan adalah bermain-main di kali saat jam tidur siang. Aku pura-pura tidur siang dan ketika ibu sudah terlelap aku segera lompat dari jendela dan teman-temanku sudah menanti di bawahnya. Kami bermain-main di sungai sampai puas, mencari ikan kemudian membakarnya ramai-ramai. Pencuci mulutnya biasanya kami mencari jambu air, jambu biji atau bahkan pisang yang ada di sekitar sungai. Minumnya cukup air kelapa muda yang kami petik dari pohon. Kalau pemiliknya datang kami akan segera berlari tunggang langgang. Sampai ada yang terkencing-kencing karena ketakutan. Tapi kami tidak jera, kami terus mengulangi dan mengulangi lagi. Padahal di rumah berbagai makanan telah disiapkan. Kalau mau buah tinggal ambil di kulkas. Kalau mau kue tinggal bilang ibu, karena ibu selalu menyediakan kue-kue untuk aku dan saudara-saudaraku. Tidak tanggung-tanggung ibu sudah membelinya untuk satu bulan. Dan ibuku menyimpannya dengan rapi. Tapi makanan-makanan itu tidak pernah menggugah seleraku. Aku lebih menikmati ubi bakar daripada menyantap makanan yang ada di rumah.
Aku duduk di ruang tamu. Kutemukan secarik kertas di atas meja.
Maaf Mas, aku perlu menenangkan diri beberapa saat. Tidak usah dicari. Aku pasti kembali setelah menemukan jawaban atas kelanjutan hubungan kita.
Kinanti
Hari minggu ini benar-benar kelabu. Padahal ini genap setahun pernikahan kami. Ya, 11 Januari. Astaghfirullahhaladzim. Tapi mengapa kami mengisinya dengan perang dingin seperti ini? Semua salahku sendiri. Padahal kami sudah merencanakan untuk saling memberi kado spesial. Aku telah menyiapkan jilbab cantik untuk istriku. Bahkan kami berencana akan masak bersama. Aku akan masak opor ayam kesukaan Kinanti. Dan Kinanti akan membuat brownis atau kue ulang tahun kesukaanku. Bagaimanapun rasanya kami akan menyantapnya sampai habis. Kucoba menelfonnya tapi hpnya tidak diaktifkan.Aku tidak mau terlambat. Aku segera menstater motor. Kuikuti bis yang menuju rumah istriku.Tapi percuma, aku tidak mungkin menghentikan semua bis, bisa-bisa penumpangnya marah dan mengiraku orang gila. Ya…aku memang gila. Ini kali kedua Kinanti membuatku gila. Dulu aku tergila-gila dan terus mengejar cintanya sampai akhirnya aku dapat memilikinya. Aku yang terkenal playboy benar-benar tertantang untuk menundukkan Kinanti yang kata teman-teman hatinya sedingin batu pualam. Berbagai jurus kucoba, berbagai pendekatan kulakukan hingga akhirnya aku dapat meluluhkan hati Kinanti. Dan berakhirlah petualanganku. Dan sekarang aku benar-benar gila mencari keberadaan Kinanti. Aku tidak ada keberanian untuk mencari di rumah orang tuanya. Ya kalau ke sana, kalau tidak, orang tuanya pasti akan ikut kepikiran, dan semakin bertambah lagi dosaku. Mending aku telfon saja, sekadar tanya kabar mertuaku. Kalau Kinanti di sana, pasti mertuaku akan memberitahu.
Kemana Kinanti ya? Ternyata dia tidak pulang ke rumah orang tuanya. Kucoba menghubunginya lagi, tetapi hpnya tetap belum diaktifkan. Aku benar-benar pusing. Akhirnya kuputuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang Hpku berdering. Aku bergegas membukanya .Ini pasti Kinanti.
“Halo, asalamualaikum? Kamu di mana Kinan?”
“Walaikumsalam. Ini ibu Rio. Kamu di mana sekarang? ”
“Aku di jalan Bu. Maaf tergesa-gesa. Nanti Satrio telfon balik saja kalau sudah sampai di rumah.” Jawabku mengakhiri telfon. Aku jelas tidak berani berlama-lama telfon dengan ibu. Karena naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi. Semakin lama aku berbicara dengan ibu pasti ibu akan tahu kalau aku sedang ada masalah. Apalagi kalau ayah sampai ikut-ikutan bicara. Aku hafal betul gaya bicara ayah. Beliau pasti akan menanyakan kabar kami. Dan aku harus menjawabnya bagaimana? Kalau aku jawab kabar baik pasti ayah mengetahui kebohonganku dari nada bicaraku. Karena ayahku sangat peka dan bukan karena memiliki indera keenam loh. Ayah akan marah besar. Dan kalau aku menjawab kurang baik pasti akan menginterogasiku karena memang aku yang bersalah. Nasib…nasib. Sudah jatuh tertimpa tangga. Begini buruk hadiah ultah pernikahanku.
Motorku melaju dengan kencang. Takkuhiraukan perutku yang melilit menahan lapar.
Loh pintu rumahku kok terbuka. Alhamdulillah berarti Kinanti sudah pulang.Kuucapkan salam saat memasuki rumah.
“Waalaikum salam.” Loh itu kan suara ayah. Bagaimana ayah bisa masuk rumah. Dari belakang muncul ibu yang segera menghampiriku.
“Satrio, Satrio…kamu benar-benar memalukan ayah. Sejak kapan kamu menjadi laki-laki pengecut seperti ini!” Ayah menyambutku dengan amarah.
Aku hanya bisa menundukkan kepala. Aku tidak berani menatap ayah apalagi menjawab? Karena ayah tidak memerlukan jawabanku. Bisa-bisa beliau akan semakin marah kalau aku menjawabnya. Aku memang pantas dimarahi apalagi saat ini aku benar-benar salah. Dan bahkan kesalahanku sangat fatal. Kuterima amarah ayah dengan hati yang jernih.
“Ayah dan Ibu dulu menikah karena dijodohkan orang tua. Tapi bisa langgeng dan harmonis. Apa kamu pernah lihat Ayah bertengkar dengan ibu kamu? Kamu nikah baru seumur jagung saja, gara-gara hal sepele saja kok langsung akan menceraikan istrimu! Di mana akal sehatmu le…le…. Kinanti itu kan gadis pilihanmu sendiri. Kamu ingat nggak? Dulu kamu mengejar-ngejar Kinanti dan meminta ayah dan Ibu segera melamarnya agar tidak kedahuluan laki-laki lain. Kok sekarang kamu tega menyia-nyiakannya. Di mana akal sehatmu. Mau ditaruh dimana muka ayah ibumu ini kalau sampai mertuamu mengetahui masalah ini!”
Ibu ikut menyambung. “Le…Satrio, menikah itu sekali seumur hidup. Perceraian itu perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT. Jangan mudah mengucap kata cerai. Setiap ada masalah kan nada penyelesaiannya.”
Ayah melanjutkan pembicarannya. “Kamu itu beruntung dapat istri Kinanti, sudah cantik, terpelajar, dari keluarga baik-baik, dan yang lebih penting lagi sangat mencintaimu dan menerimamu apa adanya. Pokoknya bobot, bibit dan bebetnya tidak mengecewakan. Jadi kalau kamu nanti punya keturunan, kepribadiannya ya tidak jauh-jauh dari orang tuanya. Ayo ceritakan apa masalah kalian. Anak kemarin sore kok sudah nantang cerai!”
“BersinYah, akhir-akhir ini Kinanti sering bersin-bersin. Ayah tahu sendiri kan sejak kecil aku paling tidak suka lihat orang bersin-bersin. Aku tahu ini salah Yah, tapi aku belum bisa menghilangkan rasa benci yang tidak beralasan ini. Bawaanku ingin emosi saja kalau lihat orang bersin.”
“Ha…ha…ha…”Ayah tiba-tiba tergelak. Ibu juga.
“Oalah le…le… itu to masalahnya. Sudah mau jadi Bapak kok kelakuan kamu masih seperti anak-anak. Jadi orang tua itu harus punya lautan kesabaran le. Mendidik dan membesarkan anak itu tidak mudah. Kalau tidak percaya tanya pada ibumu atau kakak-kakakumu yang sudah punya anak.”
“Ya Rio. Istrimu ini sedang hamil. Orang hamil itu memang bawaannya macam-macam. Ada yang biasanya tidak suka makan bakso menjadi suka sekali makan bakso. Yang biasanya tidak suka jalan-jalan jadi suka jalan-jalan. Ada juga yang tiba-tiba bersin ketika mencium bau keringat suaminya. Ya seperti istrimu ini.” Kata Ibu sambil menggandeng Kinanti dan mendudukkannya di sampingku.
“Maksud Ibu, Kinanti sekarang hamil. Kok saya tidak tahu Bu.”
“Apa betul Kinan, kamu sekarang sedang hamil? Kok tidak pernah cerita? Kamu ngidam apa, biar nanti aku carikan?” tanyaku penuh antusias.
Kalau melihat ciri-cirinya sepertinya istrimu hamil le. .Nanti sore kamu bawa ke dokter kandungan.” Ibu ikut menyambung.
Istriku mengangguk pelan sambil meneteskan air mata. Kupeluk istriku dan aku minta maaf atas kekhilafanku. Kado ulang tahun pernikahan yang begitu istemewa. Ya… aku akan menjadi seorang ayah.
Oleh: Retno Kurniawati, S.Pd.
Guru SMA Negeri 1 Padangan
Share this article :

Posting Komentar

 
Support Download CV
Copyright © 2011 Safira All Rights Reserved