MENGENANG PERJUANGAN R.A KARTINI

MENGENANG PERJUANGAN R.A KARTINI
Oleh Retno Kurniawati, S.Pd.)*
Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, sebagai wujud penghormatan kepada R.A. Kartini. Karena perjuangannyalah maka perempuan Indonesia memiliki kedudukan yang sama dalam segala hal dengan laki-laki. Perempuan Indonesia dapat “mengepakkan sayapnya” dan tidak hanya berkecimpung di rumah tangga atau seputar dapur, sumur, dan kasur. Kiprah perempuan Indonesia dapat kita saksikan dalam realita kehidupan sehari-hari.
Persamaan derajat antara kaum laki-laki dan perempuan ini membuat langkah perempuan semakin panjang. Perempuan dapat menuntut ilmu dan meniti karir setinggi-tingginya. Perempuan juga dapat mengembangkan pemikirannya untuk kemajuan Indonesia tercinta. Lalu bagaimana dengan jalannya emansipasi di Indonesia? Apakah sudah sesuai dengan harapan R.A. Kartini?
Dengan terjunnya kaum perempuan di bursa kerja. Secara tidak langsung telah mengurangi kesempatan laki-laki dalam memperoleh pekerjaan. Dan laki-laki sebagai kepala rumah tangga bisa jadi tidak dapat secara maksimal menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga. Perempuan dengan segala kelebihan yang dimiliki cenderung lebih mudah mendapatkan peluang daripada laki-laki. Maka berbagai masalah pun timbul secara berantai. Perempuan yang lebih banyak di luar rumah akan rentan terhadap pelecehan seksual. Selain itu anak juga kurang kasih sayang. Tidak hanya anak, suami juga akan merasakan hal yang sama. Dan ini akan merusak keharmonisan rumah tangga. Maka jadilah muncul orang ke tiga, PIL (pria idaman lain) dan WIL (wanita idaman lain). Tidak berhenti sampai di situ perceraian pun akan terjadi dan anaklah yang menjadi korbannya.
Kalau kita perhatikan realita di masyarakat, entah kaum perempuan yang kebablasan dalam menyikapi emansipasi, entah karena kaum laki-laki yang kian “manja” dengan adanya emansipasi. Maraknya kaum perempuan menjadi TKW sangat menodai jalannya emansipasi. Berbagai kasus yang menimpa para TKW tidak membuat kaum perempuan surut untuk menjadi TKW. Entah karena desakan ekonomi entah sekadar ingin merasakan gelimang harta, kaum perempuan Indonesia berlomba-lomba menjadi TKW baik legal maupun illegal. Akibatnya korban pun berjatuhan menimpa TKW Indonesia. Mereka yang telah berkeluarga rela meninggalkan keluarganya selama bertahun-tahun sesuai dengan waktu kontraknya. Ini bukan emansipasi tapi “penyelewengan” emansipasi. Bukan seperti ini emansipasi yang diharapkan oleh R.A. Kartini. Persamaan derajat bukan berarti wanita harus melawan kodratnya sebagai sosok yang lembut dan penuh kasih sayang.
Sesuai dengan kodrat perempuan, seorang perempuan yang kelak akan menjadi seorang istri dan seorang ibu mempunyai kewajiban untuk mengurus rumah tangga dan memberikan kasih sayang kepada putra-putrinya. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja tetapi hendaknya perempuan dapat memilih pekerjaan yang tidak mengganggu pekerjaan di rumah tangga sehingga rumah tangga tidak terlantar dan anak tidak kehilangan haknya untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari ibundanya.
Keasyikan perempuan dalam meniti karir perlahan-lahan akan mengikis kepekaan jiwa seorang perempuan. Anak tidak lagi nomor satu karena telah dikalahkan oleh nafsu untuk meniti karir setinggi-tingginya. Anak sebagai generasi muda adalah aset bangsa yang harus mendapat perhatian, bimbingan, dan pendidikan yang layak agar kelak dapat mengatasi berbagai krisis multidimensi dan menjalankan roda pembangunan. Kalau anak kurang mendapatkan kasih sayang maka ini akan berdampak nasional yaitu rendahnya kualitas generasi muda.
Mengapa demikian? Anak yang kurang kasih sayang dari orang tua akan melampiaskan kekesalannya di luar rumah. Bahkan dia akan menggunakan berbagai cara untuk mencari perhatian orang tuanya. Misalnya dengan selalu membuat masalah di sekolah atau selalu menentang orang tua. Apalagi kalau sampai anak salah pergaulan maka akibatnya akan lebih fatal lagi, anak bisa memakai narkoba dan yang perempuan bisa “melacurkan diri’, bukan untuk mencari uang tapi sekadar mencari kebahagiaan semu. Apa jadinya masa depan bangsa kalau perempuannya seperti itu. Apalah artinya tumpukan harta dan berbagai fasilitas lainnya kalau anak haus akan kasih sayang?.Bukankah kebahagiaan orang tua bergantung pada kebahagiaan anak? Saat anaknya bahagia itulah orang tua akan merasa bahagia.
Kembali pada peringatan hari Kartini. Hendaknya tidak sekadar seremonial tetapi harus benar-benar sesuai dengan amanat Ibu Kartini. Berbagai acara dan perlombaan biasanya dilaksanakan pada peringatan Hari Kartini seperti lomba berhias tanpa cermin dan lomba memakai busana Jawa layaknya Kange dan Yune. Boleh-boleh saja mengadakan acara seperti itu tapi hendaknya diimbangi dengan acara yang lebih esensi lagi misalnya seminar tentang emansipasi atau berbagai lomba yang benar-benar dapat menguji kecerdasan dan kekreatifan kaum perempuan.
Perempuan Indonesia hendaknya memiliki kecerdasan, keanggunan, dan kehormatan seperti R.A. Kartini. Jangan pernah perempuan merendahkan dirinya sendiri dengan mengumbar aurad yang justru dapat meruntuhkan kehormatan kaum perempuan. Perempuan harus pandai-pandai memilih peran dan profesi di masyarakat. Jangan sampai peran dan profesi itu justru dapat menodai emansipasi yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini.
Emansipasi tidak sekadar perempuan dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya seperti laki-laki. Emansipasi tidak sekadar perempuan dapat menjalani profesi sebagaimana yang dijalani laki-laki. Tetapi perempuan harus mawas diri. Perempuan harus tahu diri. Jangan sampai melanggar fitrah sebagai seorang perempuan. Menjadi ibu rumah tangga juga peran yang sangat mulia, karena seorang ibu merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi putra-putrinya yang notabene adalah generasi muda. Kalau semua ibu Indonesia cerdas, kreatif, dan shalehah maka dapat dibayangkan bagaimana generasi muda yang dihasilkan serta bagaimana masa depan bangsa Indonesia.
Nah kaum perempuan Indonesia, marilah kita introspeksi diri. Sudahkah kita melaksanakan amanat R.A. Kartini berupa emansipasi wanita? Sudahkah kita berperan aktif dalam mendidik generasi muda dan memajukan bangsa dan Negara? Sudahkah kita menggali potensi kita demi kemajuan bangsa? Kalau kita merasa belum maksimal. Kalau kita merasa salah langkah. Tidak ada kata terlambat. Mari kita ubah haluan kita menuju pelaksanaan emansipasi sebagaimana pesan Ibu kartini dalam bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
*Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Padangan
Share this article :

Posting Komentar

 
Support Download CV
Copyright © 2011 Safira All Rights Reserved