SESAAT MENJELANG KEMATIAN

Oleh: Retno Kurniawati, S.Pd.*)
Aku seakan tak percaya, Mbah Darno yang kemarin sempat ngobrol denganku saat solat Isak ternyata telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Sejak aku kuliah, aku memang jarang bertemu beliau. Maklumlah aku jarang pulang. Biasanya ayah dan ibu yang menjengukku ke Malang. Keterkejutanku saat melihat Mbah Darno Solat belum terjawab. Sekarang aku dikejutkan lagi dengan kematian beliau. Entah kejutan apalagi yang akan kuterima nanti.Roda kehidupan berputar begitu cepat. Aku merasakan betapa fananya dunia ini.Takterasa air mataku menetes. Entahlah, aku tak tahu apa arti air mataku ini. Sebagai laki-laki, sebagaimana laki-laki pada umumnya, aku tidak pernah menangis. Kecuali ketika aku masih kecil, biasalah anak kecil. Menangis saat ibu tidak mau membelikan aku mobil-mobilan seperti yang dimiliki Farhan teman sekolahku. Kematian Mbah Darno benar-benar membuatku terkejut dan terharu.
*****
Mbah Darno, beliau tetanggaku. Sejak kecil aku mengenalnya. Aku bahkan sering bermain di ladangnya. Aku betah berlama-lama di sana. Kebetulan Bejo, cucu Mbah Darno, adalah sahabatku. Yang membuatku betah di ladang tidak lain adalah kubangan air yang terletak di dekat ladang Mbah Darno. Kubangan air itu tidak terlalu dalam, biasanya digunakan untuk menyiram cabai, tomat, atau terung yang ditanam di ladang. Kadang juga dipakai untuk memandikan sapi. Aku, Bejo dan juga teman-temanku yang lain biasa mandi di kubangan itu. Biasalah anak-anak. Kami mandi dan bermain air sampai puas. Setelah kami agak lama bermain, Mbah Darno biasanya akan memanggil kami dengan rayuannya yang khas.
“Le, sudah dulu ya mandinya. Ini lo Mbah siapkan singkong bakar kesukaanmu.”
Tidak perlu diulang sampai dua atau bahkan tiga kali, kami pun tanpa dikomando segera berlari dan duduk manis mengitari perapian di dekat gubuk. Dengan lahap kami menghabiskan singkong bakar yang masih hangat. Kami pun tertawa-tawa saat melihat muka kami yang coreng-moreng terkena arang kulit singkong. Dasar anak-anak, ketika Mbah Darno menawarkan pepaya, kami pun tidak menolaknya. Kami makan pepaya itu tanpa mengupasnya terlebih dahulu. Satu pepaya dimakan oleh dua orang. Hitung-hitung untuk melepaskan dahaga. Sebagai rasa terima kasih kami membantu Mbah Darno mencari kayu bakar, berupa batang singkong yang sudah kering. Kami berlomba-lomba mengumpulkannya. Batang-batang singkong itu pun oleh Mbah Darno ditali dengan pelepah pisang yang sudah kering. Dan kami pun pulang. Mbah Darno mengiringi kami dari belakang. Kami berjalan sambil bernyanyi dan bersenda guru. Bukan lagunya Yovi & Nuno, Afgan atau D’Masif, tapi lagu anak-anak, gundul-gundul pacul dan gambang suling yang menjadi favorit kami. Mbah Darno yang memang sabar hanya tertawa-tawa melihat tingkah polah kami yang memang lucu.
Mbah Darno memang sangat baik, namun sayang beliau dan keluarganya tidak pernah melakukan solat lima waktu. Namun bukan itu yang membuat Mbah Darno menjadi perbincangan dan dijauhi oleh masyarakat. Lek Surti, Putri Mbak Darno, yang katanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga tiba-tiba pulang dengan dandanan yang membuat orang sekampung terbelalak dibuatnya. Yakinlah kami bahwa yang dikatakan banyak orang itu benar adanya. Tetangga kami yang bekerja sebagai kuli bangunan di kota sering melihat Lek Surti berdandan menor dan gonta-ganti laki-laki. Kabar itu sudah menyebar setengah tahun yang lalu. Warga pun terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang langsung percaya dan kelompok yang tidak percaya. Melihat kenyataan seperti itu dua kelompok warga itu pun menyatukan suara, percaya dengan kabar burung itu. Mana ada perempuan baik-baik berdandan seperti itu. Banyak oleh-oleh yang dibawanya.
Warga geger ketika ada travel yang berhenti di depan rumah Mbah Darno. Lebih kaget lagi ketika yang keluar ternyata Lek Surti dengan dandanan yang sangat-sangat menor. Lek Surti membawa oleh-oleh lumayan banyak. Ketika Mbah Kasih, istri Mbah Darno memberikan oleh-oleh kepada para tetangga, mereka langsung membuangnya dan tak sudi untuk memakan makanan haram dari hasil menjual diri.Sejak saat itu warga bersikap sinis kepada Mbah Darno sekeluarga. Tegur sapa masih terjadi tapi sekadar basa-basi. Kulihat Mbak Darno sekeluarga sangat tertekan dengan kondisi itu.Secara ekonomi kehidupan mereka yang semula sangat miskin sekarang memang jauh lebih baik. Tapi tidak kurasakan kebahagiaan di raut muka dan sorot mata mereka. Yang ada justru rasa tertekan dan penyesalan. Sorot mata sepasang suami istri itu seolah-olah mengatakan lebih baik miskin daripada bergelimang harta dari hasil menjual diri.
Rumah Mbah Darno yang biasanya ramai oleh anak-anak sekarang sepi. Maklumlah para orang tua melarang anak-anaknya memasuki rumah Mbah Darno. Najis katanya. Apalagi makan makanan pemberiannya. Aku kasihan melihat Bejo. Benar-benar malang nasib temanku itu. Orang tuanya sudah meninggal karena demam berdarah saat dia masih balita. Dia pun tinggal dengan kakek neneknya. Gara-gara kelakuan Lek Surti, Bejo tidak punya teman. Memang di rumahnya ada TV dan VCD oleh-oleh dari Lek Surti, tapi kulihat Bejo tidak menikmatinya. Dia justru secara sembunyi-sembunyi sering mengintip kami saat bermain. Pernah Bejo ikut kami bermain, tapi orang tua kami segera menyuruh kami pulang dan kami tidak bisa menolaknya. Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun kami sangat ingin bermain dengan Bejo tapi kami tidak berani. Apalagi Mbah Darno dan Mbah kasih selalu memarahi Bejo saat dia secara diam-diam mendekati kami. Kulihat Bejo menangis saat diseret neneknya ke dalam rumah. Kami hanya bisa memandanginya dengan penuh prihatin. Keluarga Mbah Darno benar-benar dikucilkan masyarakat. Semua gara-gara Lek Surti yang menjadi pelacur. Aku yakin Mbah Darno sekeluarga tidak merestui langkah sesat yang diambil putrinya itu. Tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur.
*****
Dari cerita ibu aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Lurah mendatangi Mbah Darno sekeluarga. Beliau ingin memastikan desas-desus yang berkembang di masyarakat. Ternyata benar yang dituduhkan masyarakat. Mbah Darno sekeluarga mengakui kalau Lek Surti memang melacurkan diri. Awalnya itu semua dilakukan karena terpaksa. Saat dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dia diperkosa oleh majikannya. Yang lebih menyedihkan lagi istri majikannya itu justru menuduh Lek Surti yang menggoda suaminya. Lek Surti pun diusir dan tanpa diberi uang sepeser pun. Lek Surti yang putus asa terlantar di terminal dan akhirnya ditolong oleh seorang germo. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang terjadi pada Surti.Jadilah Lek Surti seorang pelacur. Wajahnya yang cantik membuat Lek Surti menjadi primadona di rumah bordil itu. Surti sengaja tidak menceritakan nasib tragisnya itu kepada orang tuanya. Surti putus asa. Masa depannya sudah hancur tapi dia tidak akan menghancurkan harapan orang tuanya, terutama Bejo, keponakan satu-satunya. Lek Surti ingin agar Bejo dapat sekolah setinggi-tingginya dan mendapat pekerjaan yang mapan.Tiap bulan dia mengirimkan wesel dengan jumlah yang lumayan besar kepada keluarganya.
Setelah merasakan betapa mudahnya mendapatkan uang. Lek Surti yang semula terpaksa menjadi pelacur itu pun akhirnya Lek Surti bosan menjadi orang miskin yang selalu dihina. Lek Surti ingin membahagiakan orang tuanya dengan harta yang berlimpah. Karena bagi Lek Surti, yang hanya lulusan SD itu, hartalah sumber kebahagiaan hidup. Lek Surti telah diperbudak oleh harta. Nasihat orang tuanya diabaikan. Dia lebih memilih meninggalkan rumah dan tidak diakui sebagai anak daripada harus meninggalkan harta yang telah diperolehnya .
“Maafkan aku Pak, Bu. Aku sudah bosan hidup dalam kemiskinan. Sampai kapan pun bapak dan ibu tetap orang tuaku. Aku melakukan semua ini demi kebahagiaan Bapak dan Ibu juga Bejo. Kalau memang Bapak dan Ibu menghendaki Surti meninggalkan kampung ini, aku akan pergi sekarang juga. Maafkan kalau jalan hidup yang Surti pilih mengecewakan Bapak dan Ibu. Tapi izinkan Surti membiayai sekolah Bejo.” Itulah kata-kata Lek Surti sesaat sebelum meninggalkan keluarganya.
*****
Menurut cerita ibu, kira-kira sudah lima bulan Mbah Darno sekeluarga shalat lima waktu. Beliau rajin mengikuti shalat jamaah di Masjid. Semua itu atas bimbingan Ustadz Hafidz, putra dari Kiai Furqon. Walaupun masih ada masyarakat yang mencibirnya tapi Mbah Darno sekeluarga tetap istiqomah di jalan Allah. Aku bisa membayangkan saat tubuh renta Mbah Darno harus belajar sujud dan rukuk yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Yang lebih berat lagi adalah menghadapi tatapan masyarakat yang tidak semua menyejukkan tapi masih banyak pandangan mata yang melecehkan.
*****
“Fir, katanya mau takziah ke Mbah Darno. Itu ayahmu sudah menunggu.”Ibu membuyarkan lamunanku tentang Mbah Darno.
“Ya Bu. Firman sudah siap kok.”
Aku dan ayah jalan kaki menuju rumah Mbah Darno. Maklumlah rumah Mbah Darno sangat dekat dengan rumahku, hanya selisih tiga rumah. Kusempatkan melihat wajah beliau untuk kali terakhir. Alhamdulillah, kedamaian nampak di wajah Mbah Darno. Saat jenazah akan diberangkatkan, sebuah mobil berhenti di depan rumah Mbah Darno. Sontak saja semua mata memperhatikannya temasuk aku. Sesosok perempuan cantik dengan balutan jilbab yang anggun turun. Serentak bibir-bibir kami pun menyebut sebuah nama. “Surti….”
Penulis Adalah Guru SMA Negeri 1 Padangan
Share this article :

Posting Komentar

 
Support Download CV
Copyright © 2011 Safira All Rights Reserved